Akhir-akhir ini aku sulit
tidur. Bukan banyak pikiran, hanya ada beberapa hal yang harus aku kerjakan. Tapi
ada satu hal yang membuat aku tenang,
mendengar suaramu diujung telepon hingga aku tertidur pulas. Mendengar sura dan
saling tertawa, itulah yang biasa kita lakukan disamping membaca pesan singkat
yang tertulis rapi dengan huruf dan tanda baca yang penuh intonasi. Sapamu di
ujung ponsel adalah pelepas kangen, walaupun alasan itu cukup bodoh bagi kita
yang sudah sama-sama dewasa. Dalam cinta, adakah kebodohan? Justru karena
kebodohan itulah segalanya jadi Nampak manis dalam kegelapan, terlihat memesona
dalam ketersesatan.
Dalam jarak sejauh ini tak banyak hal yang
bisa kita lakukan selain menulis dan mendengar, bukan bersentuhan. Padahal,
tahukah kamu tulisan dan suara yang terdengar di ujung handphone sungguh berbeda dengan pertemuan nyata? Well, tidak
akan kubahas lagi, aku selalu hapal
kalimat pamungkasmu ketika aku mengungkit soal ini, “sabar” katamu
dengan suara yang amat sangat menenangkan, “suatu saat pipiie pasti kesana buat
jemput mimiie”.
Kita terus saja berjuang dan
melewati yang memang tak pernah kita minta untuk terjadi. Seperti takdir, dia
datang bagai pencuri, tanpa laporan dan ucapan permisi, datang menghampiri. Ini
bukan salahku, juga bukan salahmu. Aku dan kamu sudah tahu yang harus kita
hadapi, lalu pantaskah mengeluh? Jelas tidak. Sejauh ini perjuangan kita memang
tidak sia-sia, belum sia-sia (lebih tepatnya). Apa kau membaca nada
ketidakyakinan? Manusiawi jika manusia
punya rasa tidak yakin, karena seluruh yang terjadi di bawah langit ini memang
penuh ketidakpastian.
Sayang, apa yang hendak kita
perjuangkan dan kita buktikan di mata banyak orang? Tahanan kotakah kita? Koruptorkah
kita? Bukankah kita hanya jatuh cinta? Hanya tidak ingin menyalahi kodrat Tuhan
yang membuat manusia punya rasa, punya hati dan ingin berbagi. Masih tahan kau
berjuang bersamaku sampai segitunya? Aku sudah bilang padamu, tidak perlu kau
masuk ke dalam terowongan yang tak punya ujung. Juga kukatakan, tidak perlu kau
masuk ke lingkaran yang tak kau kenali setiap sudut-sudutnya.
Ternyata kamu tidak seperti
yang kubayangkan, kamu lebih kuat dan lebih tegar dari yang kukira. Kamu masih
berjalan si sampingku, menggenggam erat jemariku. Jadi, sudah berapa detikkah
kita lewati bersama? Uummpp…. Tak perlu dihitung. Kebersamaan bukanlah
kalkulasi yang penuh dengan jawaban pasti. Kebahagiaan kita juga bukan ilmu
hitung yang mutlak dan bisa dipecahkan secara jelas.
Setelah semua yang kita lewati
bersama, yakinkah ada kebahagian di ujung jalan sana? Sesudah beberapa tikungan
yang kita lalui, akankah kita tak akan bertemu di tikungan yang lebih tajam? Tak
ada yang pasti, sayang. Kita hanya tahu melangkah dan terus melangkah. Menikmati
setiap yang ada di depan, kiri dan kanan, mempelajari yang ada didepan kita,
dan menerima yang harusnya kita pasrahkan.
Sampai kapan kita bersama? Sampai
kamu terbatuk-batuk di ruang tamu dan aku
tergopoh-gopoh membawa obat batukmu? Sampai kapan kita bisa terus
menyatu seperti ini? Sampai kamu tak mampu lagi mengintip matahari di luar
jendela dan hanya bisa memelukku erat ketika bangun di pagi hari? Sampai kapan
perasaan ini terus bertahan? Sampai kata “pipiie sayang mimiie” terucap saat
kau mengecup nisanku atau sebaliknya aku yang mengecup nisanmu??
Kota kita saja berbeda, tapi
kita masih saja mau memimpi-mimpikan bahagia. Manusia memang selalu keras kepala.